Yusuf Blegur

Memungut Serpihan Ideologis Negara Kebangsaan (1)

Oleh: Yusuf Blegur

Mengingat hari kelahiran Soekarno pada tanggal 6 Juni 1901, saat ini sepi senyap tidak seperti perayaan dua dekade sebelumnya. Berbagai gaung dan aktifitas peringatan kelahiran Putra Sang Fajar itu, sempat menjadi euforia 100 tahun atau seabad Bung karno yang dihelat dihampir seluruh daerah pada tahun 2001 silam. Mungkin saat itu seiring semangat kelahiran reformasi yang membawa angin perubahan pemberantasan KKN dan prospek demokratisasi di Indonesia. Serta adanya harapan perbaikan negeri usai berada dalam belenggu ORBA yang otoriter dan penganut kapitalisme global pertama dalam kepemimpinan Indonesia.

Soekarno, Megawati dan PDIP

Namun kekinian, kelahiran Soekarno yang dekat dengan kelahiran Panca Sila dan bahkan dengan hari kematiannya di bulan Juni. Oleh PDIP dan kalangan nasionalis lainnya, menyebut rangkaian momen di bulan itu sebagai bulan Bung karno. Sayangnya perayaan bulan Bung Karno di tahun 2021 dan sebelum-sebelumnya tidak memiliki roh dan seperti terkubur bersama semangat dan pikiran-pikiran Soekarno yang sesungguhnya luar biasa bagi Indonesia dan dunia. Indonesia tidak akan bisa dilupakan dunia, ketika memelopori Konferensi Asia Afrika yang memberi motivasi dan semangat bagi kemerdekaan negara dunia ketiga di belahan Asia dan Afrika. Atau begitu membanggakannya saat Panca Sila bisa diperkenalkan dalam sidang PBB sebagai ideologi alternatif yang memukau dunia internasional di tengah cengkeraman kapitalisme dan komunisme. Tentu saja kedua peristiwa itu ada peran Soekarno.

Mungkin saja ideologi dan pemikiran Soekarno terkait marhaenisme, nasionalisme, Panca Sila dsb. Setelah kematiannya, menjadi bertolak belakang dengan realitas politik Ingonesia sekarang. PDIP sebagai partai berideologi marhaenisme dan pemenang pemilu yang mengelola pemerintahan, seperti mengangkangi dan menghianati ide-ide besar Soekarno baik soal kehidupan di dalam negeri maupun soal-soal hubungan internasional. Lebih miris lagi kebijakan partai dan orientasi kekuasaan PDIP, seperti terus-menerus membunuh Soekarno bahkan setelah kematiannya. Tak bisa dibantah bukan hanya PDIP, semua partai politik yang kemudian silih berganti memegang kekuasaan di legislatif dan eksekutif. Semenjak reformasi hanya bisa melanggengkan kedigdayaan borjuasi kapitalisme. Penyelenggaraan negara dan sistem pemerintahan diberbagai bidang hanya menjadi perpanjangan tangan negara-negara maju dengan perusahaan multinasional (multinational corporation). Dalam liberalisasi ekonomi dan politik, globalisasi hanya menempatkan pemerintah bersama partai politik dan pengusaha menjadi bagian dari mafia dan sindikat global. Termasuk PDIP dibawah kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, terbiasa menjadi cap stempel bagi kapitalisasi dan liberalisasi di negeri Panca Sila.

Alih-alih menjadi ideologis dan dapat membangun karakter nasional bangsa. PDIP bersama pemerintahan Jokowi malah dirundung masalah kemerosotan ekonomi, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, maraknya korupsi dan banyaknya perilaku pejabat yang bukan hanya mènimbulkan kehilangan kepercayaan rakyat. Lebih dari itu, melalui Jokowi, kadernya yang juga petugas partai. Rezim pemerintahan Jokowi membuat negara Indonesia tidak lagi dihormati dan dihargai oleh negara lain. Satu contoh aktual dan hangat, bagaimana Indonesia dengan mayoritas muslim terbesar gagal memberangkatkan jamaah haji ke Arab Saudi. Terlepas apapun masalahnya, sebagai negara kita tidak memiliki pemimpin yang memiliki kekuatan diplomasi internasional untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Hal ini juga menjadi indikasi betapa lemahnya pengakuan eksistensi, rasa hormat dan respek serta rendahnya kepentingan dunia luar terhadap Indonesia, dalam hal ini khususnya negara Arab Saudi.

Dalam pergaulan antar bangsa, Indonesia sulit membangun kesetaraan dan memiliki posisi tawar yang rendah. Begitu nyata intervensi dan hegemoni asing yang merongrong kedaulatan negara hanya karena kebijakan investasi dan hutang luar negeri. Padahal Indonesia dulunya dianggap memiliki pengaruh besar bagi dunia secara geografis, geopolitis, dan geostrategis. Dalam kepentingan ekonomi dan politik, juga aspek pertahanan keamanan bagi dunia. Posisi Indonesia juga sangat menentukan karena mengambil peran kekuatan non blok dalam pergaulan internasional.

Namun semua itu, seiring waktu perlahan meredup. Karena yang tersisa sekarang, Indonesia hanya menjadi negara korban eksploitasi manusia atas manusia, eksploitasi bangsa atas bangsa. Menyedihkan lagi, rakyat Indonesia menjadi pasar utama dari perusahaan multi nasional. Peran negara terpinggirkan, sehingga kapitalisme global memengaruhi dan menentukan nasib rakyat Indonesia. Jadilah sekarang Indonesia sebagai bangsa kuli diatas bangsa kuli.

Sebagai refleksi, membandingkan keadaan Indonesia jaman itu dengan pemimpin-pemimpin berkarakter seperti Tjokroaminoto, Ahmad Hasan, Soewardi Soeryaningrat, Douwes Dekker, Tjiptomangoenkusumo, dll. Termasuk Soekarno, M. Hatta, Mohammad Natsir, Syahrir, H. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) dll., yang mewarnai politik dan memimpin Indonesia setelah kemerdekaan.

Rasanya akan sulit membandingkannya. Jangankan dikatakan lebih baik. Pemimpin sekarang tak akan pernah sanggup sekedar menyamai prestasi dan kehebatannya. Jika dilihat dari aspek keilmuan, integritas, kebesaran jiwa dan sikap patriotik dalam berkorban untuk bangsa dan negara. Mereka adalah politisi yang berbasis agama sekaligus Ulama yang menjadi pemimpin politik. Ada sejarah yang dapat menjadi pelajaran dan diambil hikmahnya bagi generasi berikutnya. Ditengah dinamika politik dan pertarungan ideologi, mereka mampu menjadi pemimpin dan ulama yang patut diteladani. Perbedaan dalam tatanan ideologi dan memahami nilai dan pesan keagamaan tidak membuat mereka larut dalam konflik dan menimbulkan perpecahan apalagi membahayakan keselamatan dan keutuhan NKRI.

Belajar dari itu, sangat memilukan dan menyayat hati. Indonesia sekarang diisi oleh kepemimpinan yang nihil nilai nasionalisme dan patriotisme. Tanggungjawab dan amanat yang diberikan untuk mengelola negara dalam rangka mewujudkan negara kesejahteraan. Justru memunculkan kejahatan kepemimpinan dan kejahatan negara. Perangai kekuasaan yang buruk dan dzalim, telah menebar ancaman, teror dan penindasan kepada rakyat yang seharusnya dilindungi. Ada proses pemiskinan rakyat ditengah kekayaan negara. Rakyat berdarah-darah untuk sekedar hidup dan mendapat keadilan dari negara. Sementara aparatur negara menyerahkan kekuasaan pada asing dan kompradornya. Wajah pemerintahan dan kekuasaannya tak beda bentuk dan sifatnya seperti neo kolonialisme dan imperialisme dalam wajah asing dan pribumi.

Dalam keadaan sekarang membandingkan Jokowi dan rezim kekuasaanya dengan para pendiri bangsa dan pahlawan. Seperti jaraknya langit dan bumi. Seperti pejuang kemerdekaan dan penjajajah yang dihadapinya. Rakyat seperti hidup tanpa pemimpin dan tanpa pemerintahan, yang ada hanya kekuasaan dan aparatur monster yang menakutkan.

Pergumulan Ideologi

Bicara tentang Soekarno, bagi rakyat Indonesia dan banyak pemerhati sejarah Indonesia dari luar, pendiri bangsa dan proklamator kemerdekaan RI itu. Ibarat sebuah tema atau sejarah, sosok Soekarno merupakan pemimpin yang tak ada habisnya untuk diperbincangkan, bahkan diperdebatkan. Soekarno sering disebut sebagai representasi Indonesia.

Selain peran dan kontribusinya bagi perkembangan dunia terutama di era perang dingin. Ada baiknya, sedikit menyimak perjalanan pergulatan pemikiran dan ideologi dari Soekarno. Baik pada masa pergerakan kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan, hingga kejatuhan pemerintahan semasa Orde Lama yang dipimpinnya.

Menariknya, dalam proses perjalanan kebangsaan, kepemimpinan Soekarno tidak bisa lepas dari pusaran ideologi dunia saat itu. Baik dalam skala nasional maupun internasional. Tarikan ideologi dunia yang begitu kuat, tak bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan rakyat di dalam negeri maupun pengaruh luar yang menentukan perjalanannya sebagai seorang pemimpin dan arah perjalanan bangsa.

Uniknya, Soekarno muda bersama pemimpin dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Merupakan barisan pemuda yang menyerap proses pendidikan intelektual dan keagamaan yang relatif dari sumber yang sama. Salah satunya, saat Soekarno dengan Alimin, Semaun, Musso dan Kartosuwiryo tinggal bersama di rumah Tjokroaminoto pemimpin Sarikat Islam. Proses interaksi politik dan intelektualnya membuat jalan politik Soekarno berbeda dengan kawan-kawannya itu yang secara utuh mengadopsi pemikiran Karl Marx. Termasuk didalamnya seorang Tan Malaka. Penggalian pemikiran marxis inilah yang kemudian mendorong tabiat Islam yang sosialistik dan bertujuan menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dianggap tidak progressif revolusioner dalam membangun kekuatan perlawanan terhadap kolonialisme. Pemahaman ini kemudian juga menyebabkan perpecahan Sarikat Islam yang dikenal dengan Serikat Islam Merah dan Serikat Islam Putih. Hal ini, pada selanjutnya juga menimbulkan polarisasi yang luas pada pola gerakan perlawanan terhadap penjajahan. Meskipun dianggap memilik roh yang sama pada nilai sosial dan mobilisasi kesadaran perjuangan. Gerakan perlawanan kolonialisme pada masa pergerakan kemerdekaan, praktis didominasi kekuatan yang menganut sistem nilai dan berbasis pada nasionalisme, Islam dan Komunis. Soekarno sendiri tumbuh mengeksplorasi pemikirannya dengan nilai-nilai nasionalisme, Islam dan marxis. Soekarno menerjemahkannya dengan sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan Ketuhanan.

Begitupun, tokoh-tokoh pemikir pergerakan Islam lainnya seperti Ahmad Hasan, Mohammad Natsir, Buya Hamka dll. Tetap berpegang teguh pada Islam sebagai landasan perjuangan politik dan kebangsaannya. Sehingga mereka dikatakan mewakili nasionalis religius. Kekuatan Islam sendiri, meskipun terbagi pada kelompok pemikiran yang konservatif dan moderat. Seiring berjalannya waktu, kekuatan Islam membentuk interest politik Islam. Diskursus relasi Islam dan negara, pada posesnya melahirkan pemikiran mendirikan negara Islam dan lainnya yang memisahkan agama dari negara.

Jalan politik para pendiri bangsa yang kemudian menjadi pemikir dan pemimpin pergerakan membawa mereka pada satu titik perahu kebangsaan yang sama. Meskipun pada akhirnya, terutama saat mereka berada dalam panggung pemerintahan dan kekuasaan negara. Perbedaan prinsip dan ideologi yang berhubungan dengan relasi agama dan negara, tak dapat dihindarkan lagi. Mereka menempuh jalan terpisah.

Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme

Proses perjalanan kebangsaan dan Keindonesiaan selalu dinamis, tak pernah berhenti. Layaknya ideologi yang terus hidup mewarnai peradaban manusia. Sejarah Indonesia, pun demikian mengalami pasang surut. Mulai dari era Kerajaan Nusantara, kedatangan VOC, masa pergerakan kemerdekaan, hingga pemerintahan RI dari orde lama hingga orde reformasi sekarang ini.

Terkait aliran politik dan ideologi, NKRI saat awal kelahirannya juga diuji dan mampu melewati masa kritis dan krusial saat penentuan dasar negara dan falsafah hidup bangsa. Panca Sila yang merupakan konsensus nasional itu, dalam perumusannya berhasil menghilangkan 7 kata “dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama. Proses diskursus panjang sidang BPPUPKI itu menegaskan bahwa NKRI bukanlah negara agama melainkan negara kebangsaan yang berlandaskan Panca Sila. Sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Piagam Jakarta. Untuk sementara, unsur kekuatan nasionalis, Islam dan marxis dapat menerima konsesus nasional yang tertuang dalam Panca Sila.

Meskipun tercetus Panca Sila, UUD 1945 dan NKRI sebagai hasil dari proses perumusan Indonesia menjadi negara kebangsaan. Pasca konsensus nasional itu tidak serta-merta menghilangkan perebut pengaruh dan kekuatan pergerakan yang oleh Soekarno disebut dengan istilah NASAKOM sebagai unsur strategis dan fundamen menopang kemerdekaan RI dan keberlangsungan kebhinnekaan di dalamnya. Baik komunis dan Islam terus melakukan refleksi dan gugatan terhadap konsep dan praktek-praktek negara kebangsaan yang menjadikan Panca Sila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa.

Ini bisa dilihat dari fakta sejarah pertumbuhan kemerdekaan, republik harus menghadapi aksi dan perlawanan aliran politik dan ideologi lain yang mengancam pemerintah dan eksistensi NKRI.

Pertentangan Soekarno dan Natsir

Perbedaan pemahaman soal relasi negara dan agama sebenarnya sudah mengemuka dan direpresentasikan oleh Soekarno dan Mohammad Natsir yang keduanya mewakili nasionalis sekuler dan nasionalis religius. Pemikiran Soekarno nenempatkan persoalan agama harus terpisah dari urusan agama. Karena nilai-nilai Islam dianggap tidak mampu menyelesaikan permasalahan negara yang kompleks. Urusan keagamaan hanya bisa maduk wilayah negara hanya pada aspek peribadatan atau ritual.

Sementara Natsir menegaskan bahwa Islam bukan saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan mengatur hubungan manusia dengan manusia. Juga hubungan manusia dengan alam. Sehingga Islam dianggap penting dan dibutuhkan masuk dalam kehidupan negara.

Perbedaan pandangan dua pemimpin besar dalam membahas landasan kenegaraan ini yang pada akhirnya terus hidup dan mewarnai politik kontemporer Indonesia hingga saat ini. Nasionalis sekuler seakan menjadi seteru abadi bagi Islam ditengah latennya ideologi Marxis dan kapitalisme global yang adidaya.

Sementara, pentas politik ke negaraan kita saat ini hobi mengumbar percik api aliran politik dan politik identitas ditengah gagalnya nasionalisme kebangsaan kita mewujudkan negara kesejahteraan.

Terlihat samar-samar dari kejauhan, Panca Sila lunglai tercabik-cabik dan sekarat diterkam buasnya kapitalistik global dan komunisme modern.

Penulis, Pekerja Sosial dan Pendiri Yayasan Human Luhur Berdikari.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.